Klan Bani Ubaidillah adalah gelombang imigran yang datang di era kolonial. Mereka berasal dari negeri yang sepertinya tidak pernah stabil, Yaman, tepatnya Yaman Selatan. Pendatang dari Yaman ini tentu saja bukan hanya Bani Ubaidillah, tetapi Bani-Bani lainnya sesuai dengan kabilah darimana mereka berasal.
Bani Ubaidillah ini disebut begitu karena mereka mengklaim sebagai keturunan figur yang disebut Ubaidillah. Ubaidillah ini diklaim sebagai anak dari Ahmad bin Isa, seorang Sayid Husaini yang tadinya berasal dari Irak, dan kemudian hijrah ke Yaman. Disinilah pangkal permasalahan yang menjadi bom waktu di kemudian hari.
Mengklaim sebagai keturunan Ahmad bin Isa itu menjadikan mereka juga mengklaim sebagai keturunan Rasulullah lewat cucunya, Husain bin Ali. Keturunan cucu-cucu lelaki Rasulullah dari jalur Ali-Fatimah RA, mendapat kekhususan di dunia Islam. Keturunan Husain disebut Sayid dan keturunan Hasan disebut Syarif.
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim; memiliki kerinduan tersendiri terhadap Rasulullah. Dan ini menjadikan ladang empuk bagi pendatang dari Timur Tengah dengan menjadikan kerinduan itu lubang exploit untuk kepentingan mereka. Ketika mereka datang, mereka mengklaim sebagai keturunan Rasulullah. Tentu saja ada dua tanggapan terhadap kehadiran mereka. Pertama, yang menerima dan memanfaatkan mereka, dalam hal ini Nahdlatul Ulama(NU) dan para aristokratnya. Kedua yang bersikap skeptis terhadap klaim mereka yang bisa dikatakan diwakili oleh Muhammadiyah.
Para aristokrat Nahdlatul Ulama, menerima klaim itu karena sesungguhnya tidak punya bukti untuk menolak dan juga tidak punya bukti untuk menerima. Apalagi, di saat itu, Nusantara mulai disibukkan dengan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Thus menerima klaim, entah klaim itu benar nyatanya atau sebuah tipuan, sudah resiko yang diambil oleh para aristokrat NU. Mereka berpendapat, menerima klaim itu karena bentuk cintanya kepada Rasulullah. Kalaupun klaim itu tipuan, kewajiban para Nahdliyyin ini untuk mencintai Rasulullah dan keturunannya telah tertunaikan; dan tipuan itu dosa dari si penipu. Kalau klaim itu benar, maka pahala akan mengalir karena mencintai dzurriyah Rasulullah SAW.
Muhammadiyah, lebih berhati-hati daripada NU. Sesuai aturan yang disepakati dalam ilmu filsafat, klaim harus disertai bukti. Klaim tanpa bukti, bisa ditolak tanpa memerlukan bukti penolakan. Apalagi, ini klaim keturunan Rasullah yang bisa dikapitalisasi untuk hal-hal yang tidak baik. Apalagi Muhammadiyah penganut kesetaraan yang tegas dalam organisasinya. Tidak ada keistimewaan antar anggota.
Setelah ratusan tahun dalam kemapanan sebagai Dzurriyah Nabi yang diakui parsial, ledakan terjadi di abad 21 ini. Seorang Kyai, Imaduddin Usman, mempreteli klaim itu dengan studi literatur dan sejarah. Klaim itu dipandang dari ilmu sejarah, cacat. Pertama, tidak ada bukti primer kakek pendirinya, yaitu Ubaidillah. Informasi tercatat yang paling muda, juga jauh setelah sepeninggal Ubaidillah. Tanpa bukti primer, maka tidak ada juga literatur sekunder. Tanpa bukti primer, tokoh sejarah hanyalah sebuah klaim tanpa bukti.
Terkadang tokoh sejarah memang tidak terekam kehadirannya, karena selama 300 ribu tahun keberadaan manusia, hanya 5000an tahun peradabannya tercatat dengan tulisan. Tetapi keberadaan mereka sebagai makhluk biologis, ternyata terekam dalam sel-sel keturunannya sekarang. Dari sisi pandang ini, penulis yang memang terdidik dalam ilmu hayat(biologi), mencoba menyuguhkan telusuran klaim itu dengan ilmu biologi. Nasab adalah fenomena historis dan biologis, sehingga pembuktian klaim itu juga harus dari kedua ilmu itu.
Keterlibatan penulis, agar pembahasan klaim keturunan Nabi tetap mengikuti kaidah ilmu biologi dan tidak tersesat dalam ketidakpatuhan terhadap kaidah-kaidah ilmu biologi. Dalam menelusuri hereditas, kepatuhan terhadap protokol yang sudah disepakati harus dilakukan agar temuannya dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada bantahan, maka bantahannya juga harus dengan referensi ilmu biologi.
